FILSAFAT ILMU
FILSAFAT ILMU
SEBUAH PENGANTAR POPULER
Karya Jujun S. Suriasumantri
Dengan kata pengantar Andi Hakim Nasution
Cetakan Kedua Puluh Dua, 2010
Sebanyak 384 halaman
Dicetak oleh PT. Penebar Swadaya
BAB IKE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT
Da steh ‘ich nun, ich armer Tor!
Und bin so klug als wie zuvor.
(Nah, di sinilah aku, si goblok yang malang!
Tak lebih bijak dari sebelumnya)
Faust
1. Ilmu dan Filsafat
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-keduanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang. Seberapa jauh sebenernya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Apakah Filsafat?
Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemstaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Kerendahhatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekedar basa-basi. Seorang yang berfikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berfikir filsafati yang kedua yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu bisa disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
“Ah, Horatio,” desis Hamlet, “masih banyak lagi di langit di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu.” Memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar , dalam hal ini kita hanya berspekulatif dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang ketiga yakni sifat spekulatif.
Filsafat: Peneratas Pengetahuan
Filsafat, meminjam pemikiran Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan kelimuan. Setalah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah laut lepas; berspekulasi dan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkata; sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatannya memang demikian, dan kesalahpahaman ini dapat segera dihilangkan, sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan poinir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bertolak dari pengembangannya bermula sebagai filsafat.
Bidang Telaah Filsafat
Pada tahap yang pertama adalah filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu? Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang disadari bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya.
Tahap yang kedua adalah pertnayaan yang berkisar tentang ada: tentang hidup dan eksistensi manusia.
Tahap yang ketiga, skenarionya bermula pada suatu pertemuan ilmiah tingkat “tinggi”, dimana seorang ilmuan bicara panjang lebar tentang suatu penemuan ilmiah dalam risenya. Setelah berjam-jam dia berbicara maka dia pun menyeka keringatnya dan bertanya kepada hadirin: adakah kiranya yang belum jelas? Salah seorang bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang kedua belah tangan di samping kupingnya; apa? (rupanya sejak tadi ia tak mendengar apa-apa).
Cabang-Cabang Filsafat
Pokok pemasalahan yang dikaji dalam filsafat mencangkup tiga segi, yakni apa yang disebut benar adan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang ilmu filsafat ini kemudian bertambah lagi, yakni pertama teori tentang ada; tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan kedua politik; yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima cabang ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik diantaranya filsafat ilmu.
Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain:1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan))
2) Etika (Filsafat Moral)
3) Estetika (Filsafat Seni)
4) Metafisika
5) Politik (Filsafat Pemerintahan)
6) Filsafat Agama
7) Filsafat Ilmu
8) Filsafat Pendidikan
9) Filsafat Hukum
10) Filsafat Matematika
Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodelogis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu alam.
Untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya maka pertanya yang dapat diajukan adalah: apakah yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi) serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari tiga pertanyaan tersebut maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia.
Kerangka Pengkajian Buku
Buku ini merupakan pengantar kepada filsafat ilmu yang ditulis secara popular. Tidak semua materi yang seharusnya tercakup dalam sebuah kajian filsafat ilmu dibahas dalam buku ini. Sengaja dipilih hanya beberapa persoalan pokok yang seharusnya diketahui pada tahap elementer. Pembahasan ini ditunjukkan kepada orang awam yang ingin mengetahui aspek kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan ditujukan kepada kepada mereka yang menjadikan filsafat ilmu sebagai suatu bidang keahlian.
BAB II
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
Pilatus bertanya kepadanya, “Apakah kebenaran?’ Johannes (18:38)
2. Penalaran
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; manusia member makna pada kehidupan, manusa “memanusiakan” diri dalam hidupnya; dsb: semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya: dan pengetahua ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Hakikat Penalaran
Penalaran memrupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap dan bertindak. Penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
Sebagai suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu:
- Adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat disebut logika.
- Sifat analitik dari proses berfikirnya.
Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Kegiatan berfikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpamanya adalah intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berfikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berfikir tertentu. Jadi secara luas dapat dikatakan bahwa cara berfikir masyarakat dapat dikategorikan kepada cara berfikir analitik yang berupa penalaran dan cara berfikir yang nonanalitik yang berupa intuisi dan perasaan.
3. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir itu harus dilakukan sesuai cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru bisa dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berfikir secara sahih”
Induksi merupakan cara berfikir dimana ditarik kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang berdifat umum.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berfikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogsmus ini disebut premis yang dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.
4. Sumber Pengetahuan
De omnibus dubitandum!
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri pada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang dikenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain, yang penting untuk diketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional maunpun secara empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebauh rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya sepanjang masa. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transdental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
5. Kriteria Kebenaran
Matematika ialah bentuk pengetahuan yang bentuk penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun di atas beberapa dasar pernytaan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunkan beberapa aksioma maka disusun suatu teorema. Di atas teorema maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.
Paham lain adalah kebenaran yang berdasarkan teori korenspondensi, dimana eksponen utamanya adalah Bertrand Russell (1827-1970). Bagi penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Kedua teori kebenaran ini yakni teori koherensi dan teori korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangakan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran yang lain yang disebut teori kebenaran pragmatis.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How To Make Our Ideas Clear”. Bagi seorang pragmatism aka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu kebenaran adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
BAB III
ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI
Der Herr Gott wurfelt nicht!
(Tuhan tidak melempar dadu!)
Albert Einstein (1879-1955)
6. Metafisika
Bidang telaah filsafat yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang menembus galaksi dan awan gemawan, maka Metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya.
Beberapa Tafsiran Metafisika
Tafsiran yang paling pertama diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini; dimana manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat pada benda-benda. Animisme merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalisme yang menolak pendaoat bahwa terhadap ujud-ujud yang bersifat supernatural ini. Materialisme, yang merupakan paham berdasarkan naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan oleh alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui oleh manusia.
Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada didalamnya bukan? Jadi pada dasarnya tiap ilmuan boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda-beda.
7. Asumsi
Paham determinisme dikembangkan oleh Willam Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalism yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan alternatif.
Konsekuensi dari suatu pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling dari paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya menantarkan kita ke paham yang bersifat probabilistik.
8. Peluang
Jadi berdasarkan teori-teori keilmuan saya tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian, Tanya seorang awam kepada seorang ilmuan. Ilmuan itu menggelengkan kepalanya. Tidak. Jawab ilmuan itu sambil tersenyum apologetik, hanya kesimpulan yang probalistik.
Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpotensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan manusia harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan manusia dan bukan pada teori-teori keilmuan.
9. Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Dalam analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis utama yakni zat, gerak, ruang dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) berasumsi bahwa empat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat absolut dan dengan demikian berbeda secara substantif dengan energi. Einstein, berlainan dengan Newton, dalam The Special Theory of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolute, kata Einstein. Bahkan zat itu sendiri pun tidak mutlak, hanya bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasyhur:
Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan penemuan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementarity) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Prinsip Komplementar ini menyatakan bahwa electron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik (Prinsiple of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip indeterministik ini, kata William Barret, menunjukkan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik. Prinsip ini membuka kesempatan untuk menengok sejenak kepada hakikat alam yang mungkin saja “pada geraknya bersifat irrasional dan kacau” (at bottom be irrational and chaotic).
Dalam mengembangkan asumsi maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi ini harus bersifat relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajiasn teoritis. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana keadaannya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi yang kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral. Sekirang asumsi semacam ini dalam penyusunan kebijaksanaan (policy) atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan.
10. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalam manusia juga disebabkab metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas empirisnya. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemaunisaan ke jurang malapetaka.
Cabang-Cabang Ilmu
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun-rumpun ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang-cabang ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada kedua kelompok lagi yakni ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semester sedangkan alam kemudia bercang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu bumi (mempelajari bumi).
Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilm-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Disamping ilmu-ilmu alam dan sosial, pengetahuan juga mencakup humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama dan sejarah. Sedangkan matematika bukan merupakan ilmu, melainkan cara berfikir deduktif.
BAB IV
EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR
Kau tahu sendiri bagaimana metodeku, Watson.
(Arthur Conan Doyle dalam The Crooked Man).
11. Jarum Sejarah Pengetahuan
Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan obyek yang lainnya. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17. Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusinya kita menganggap semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama.
Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah strukruk kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaiamana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
“Ah,” keluh sejarawan Hendrik Willem van Loon, “ingin saya menuliskan sejarah dalam satu suku kata.”
“Satu suku kata mungkin tidak bisa,” jawab seorang ilmuan “namun mungkin ada kalimat yang patut diingat oleh mereka yang mendalami perkembangan ilmu.”
“Yakni…..”
“Jangan putar jarum sejarah!”
12. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turun memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagiamana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Setiap pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontology), bagaiamana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut itu disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan;jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Seni pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat pada sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba mengungkapkan obyek penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya, lewat berbagaia kemampuan manusia untuk menangkapnya, seperti pikiran, emosi dan pancaindera. Model pengangkatan realitas dalam seni, sekiranya karya seni dapat diibaratkan sebuah model, adalah bersifat penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karena itu kita tidak bisa mempergunakan model tersebut untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan sebuah kegiatan seni.
Usaha untuk menjelaskan gejala ala mini sudah mulai dilakukan oleh menusia sejak dulu kala. Diperkirakan bahwa nenek moyang kita pun tak kurang takjubnya memperhatikan berbagai kekuatan alam yang terdapat di sekeliling mereka. Mereka merasa tak berdaya menghadapi kekuatan alam yang sangat dahsyat yang dianggapnya merupakan kekuatan yang luar biasa ini, dicobanya unuk menjelaskannya mengkaitkan dengan makhluk yang luar biasa pula, dan berkembanglah berbagai mitos tentang berbagai dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya. Gejala alam merupakan pencerminan dari kepribdian dan kelakuan mereka dank arena pada waktu itu gejala alam sukar diramalkan, berkembanglah tokoh-tokoh supernatural yang bersifat begitu.
Tahap selanjutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa atau asap kemenyan. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis. Berkembanglah lalu pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error).
Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut “seni terapan” yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan sehari-hari di samping “seni halus” yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Seni terpakai ini mempunyai dua ciri, yaitu:
1. Bersifat deskriptif dan fenomenologis
2. Ruang lingkup terbatas
Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tak mempunyai landasan permulaan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.
Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis. Ilmu mempunyai dua buah peranan, ujar Bertrand Russel, pada satu pihak sebagai metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense). Berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktin yang dilakukan secara empiris.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyatan empiris atau tidak.
13. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan ilmu pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang bisa didapatkan dengan memenuhi berbagai syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi terdapat dalam metode ilmia.
Seperti diketahui berfikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara kerja pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mampunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yang bersifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mecoba menggabungkan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Berfikir deduktif memberika sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun berbagai argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik, maka dimugkinkan disusunkannya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Oleh karena itu, maka dipergunakan pula cara berfikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang dikandung dalam pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek factual yang dituju oleh pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar bila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut.
Proses kegiatan ilmiah menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Disimpulkan bahwa karena ada masalahlah maka proses kegiatan berfikir dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berfikir tersebut diarahkan kepada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris pula.
Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara permasalahan yang sedang kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang ilmuan seakan-akan melakukan sesuatu “interogasi terhadap alam”. Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memugkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsive terhadap pertayaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan penyelidikan.
Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dan pengatahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam mengembangkan ilmu secara keseluruhan dan menimbulkan pula efek kumulatif dalam kemajuan ilmu.
Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hypothetico-verification; atau menurut Tyndall sebagai “perkawinan yang bekesinambungan antara deduksi dan induksi”. Proses induksi ini mulai memegang peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah sebuah hipotesis didukung oleh fakta atau tidak. Sebenarnya dalam proses penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berfikirnya adalah deduktif, kegiatannya tidaklah sama sekali terbebas dari proses induktif. Penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris dengan pengamatan kita yang mau tak mau turut mempengauhi pross berfikir deduktif. Kegiatan seperti ini akan leboh mendekatkan lagi hipotesis yang kita susun dengan dunia fisik yang secara teoritis memperbesar peluang hipoteis untuk dapat diterima.
Langkah selanjutnya setelah menentukan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata. Proses pengujian merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan.
Alur berfikir yang tercangkup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberpapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1) Perumusan masalah;
2) Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis;
3) Perumusan hipoteis;
4) Pengujian hipotesis;
5) Penarikan kesimpulan.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Langkah-langkah yang telah disebutkan diatas harus dianggap sebagai patokan utama di mana dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang sebagai variasi sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti.
Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuan. Sebuah laporan penelitian ilmiah mempunyai sistematika cara berfikir tertentu yang tercermin dalam format dan tekniknya. Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode pengetahuan lainnya, meurut Jacob Bronowski, adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan eksplisit.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Jadi pada hakikatnya suatu hipotesis dapat kita terima kebenarannya selama tidak didaptkan fakta yang menolak hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada hakikat ilmu yakni sifat pragmatis ilmu. Ilmu tidak bertujuan mencari kebenaran absolute melaikan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
Penelitian merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuannya. Metodologi penelitian ilmiah dan hakikatnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk dapat memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian. Langkah-langkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaiamana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adalah koheren dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan. Dengan demikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat potensial secara konkret memperkuat kemampuan ilmuan dalam melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.
Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan kepada penemuan-penemuan sebelumnya. Sebenernya hal ini tidak seluruhnya benar karena sampai saat ini belum satu pun dari seluruh disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun satu teori yang konsisten dan menyeluruh.
Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai namun tak pernah sepenuhnya tangkapan kita itu sampai. Tiap langkah kita dalam menemukan pengetahuan yang benar selalu diintai oleh kekeliruan. Kegiatan ilmuan pada jiwanya merupakan komitmen moral dan intelektual untuk mencoba mendekati kebenaran dengan cara sebenar-benarnya.
Demikian juga ilmu yang makin terspesialisasikan menyebabkan bidang kajian suatu disiplin keilmuan semakin sempit yang ditambah berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti postulat, asumsi dan prinsip membikin lingkup penglihatan keilmuan makin bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation professionalle yakni perubahan bentuk sebuah ujud dilihat dari kacamata profesional. Bentuk yang bersifat artifisial ini berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya disebabkan berkembangnya sarana berfikir yang merupakan kerangka yang mengikat berbagai disiplin keilmuan dalam melakukan penelaahan bersama diantaranya adalah cara berfikir sistem.
Terlepas dari segala keterbatasannya ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban. Kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan sebagai pedoman untuk meletakkan ilmu dalam tempat yang sewajarnya, sebab hanya dengan sikap itulah, kita dapat memanfaatkan kegunaanya semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia. Mengatasi harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekedar alat dan semuanya tergantung kita apakah kita mempergunakan alat ini dengan baik atau tidak.
14. Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifat kumulatif di mana penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya memiliki tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tantum possumus, ujar Francis Bacon, quantum scimus! (kita dapat melakukan sesuatu sebatas yang kita tahu!).
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teologis, dan genetik. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berfikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti “kemungkinn”, “kemungkinan besar” atau “hamper dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsure dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetic mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul demikian.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mecakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenanya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja contohnya fisika. Ilmu sosial pada kenyataannya terdiri dari berbagai teori yang tergabung dalam suatu disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif teoritis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan postulat dan asumsi yang berbeda satu sama lainnya.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang mencangkup hubungan sebab akibat ini, atau dengan perkataan lain hubungan kasualita, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab.
Teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan ”alat” yang dapat dipergunakan untuk mengontrol gejala alam. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal.
Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut. Pengertian teoritis di sini dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud; artinya makin teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Konsep-konsep teoritis seperti gravitasi da medan elektromagnetik merupakan penjelasan yang bersifat mendasar yang mampu mengikat berbagai gejala-gejala fisik secara universal.
Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis baru dapat dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis. Dan dari pengertian inilah kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapa yang juga diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan penelitian terapan.
Di samping hukum maka teori keilmuan juga mengenai kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat sebuah gejala.
Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahklan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan secara begitu saja.
Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji.
Penelitian yang bertujuan menemukan pengetahan baru yang sebelumnya
belum pernah diketahui dinamakan penelitian muri atau penelitian dasar Sedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis dinamakan penelitian terapan. Dengan menguasai pengetahuan ini maka manusia mengembangkan teknologi atau peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan dalam kehidupannya.
Manusia disebut juga Homo faber (makhluk yang membuat peralatan) di sampaing Homo sapiens (makhuk yang berfikir) yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoritis dengan teknologi yang bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya seperti seni yang bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya. Meskipun pada tahap embrional pengembangan ilmu pun pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangan kearah kedewasaannya serta kemampuan bidang penerapannya, maka ilmu harus dibedakan dengan pengetahian-pengetahuan lainnya terutama dari segi kemampunannya untuk memecahkan masalah.
BAB V
SARANA BERFIKIR ILMIAH
Burung beo tidak bisa bernyanyi. Bicara, mungkin, Holler.
Tetapi, sumpah setengah mati, mereka tidak bisa menyanyi….
Truman Capote dalam In Cold Blood (New York: Signet, 1965), hal. 27.
15. Sarana Berfikir Ilmiah
Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Manusia sering disebut sebagai Homo faber: makhluk yang membuat alat; dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh pengetahauan. Berkembangnya pengetahuan tersebut juga memerlukan alat-alat.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berfikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelitian ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berfikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan.
Sarana berfikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya kita mempelajari sarana berfikir ilmiah ini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukanlah merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari.
Untuk dapat melakukan kegiatan berfikir ilmiah sengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berfikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berfikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berfikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berfikir deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif.
16. Bahasa
Keunikan manusia sebenarnya terletak pada kemampuna berbahasanya bukan terletak pada kemampuan berfikirnya. Dalam hal ini maka Ernst Cassirer menyebuat manusia sebagai Animal symbolicum, makhluk yang mempergunakan simbol, yang secara genetik mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada Homo sapiens yakni makhluk yang berfikir, sebab dalam kegiatan berfikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakuakan. Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini maka manusia tak mungkin menembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. “Tanpa bahasa” simpul Aldous Huxley, “manusia tak berbeda dengan anjing dan monyet.”
Apakah Sebenarnya Bahasa?
Pertama, bahasa dapat dicirikan sebagai serangkain bunyi. Kedua, bahasa merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Manusia mengumpulkan lambing-lambang dan menyusun apa yang kita kenal sebagai pembendaharaan kata-kata. Pembendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka.
Adanya lambang-lambang ini memungkinkan manusia ini dapat berfikir dan belajar dengan lebih baik. Adanaya bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebut tidak berada di dekat kita. Manusia dengan kemampuannya berbahasa memungkinkan untuk memikirkan masalah secara teru-menerus.
Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Namun bukan itu saja, dengan bahasa kita dapat mengekspresikan sikap dan perasaan kita. Dengan adanaya bahasa maka manusia hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa.
Dengan ini manusia member arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti bahkan kekuatan. Seni merupakan kegiatan estetik yang banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal ini, bahasa bukan hanya saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu sendiri melainkan juga merupakan ramuan untuk menjelmakan pengalaman yang ekspresif. Bahasa dipergunakan secara plastic, seperti kita membuat patung dari tanah liat, di mana komunikasi yang terjadi mempunyai kecenderungan emotif.
Komunikasi ilmiah mengisyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain dengan komunikasi estetik. Komunikasi ilmah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan denga baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari unsure-unsur emotif. Kumunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif. Oleh sebab itu maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mecegah pemberian makna yang lain. Oleh karena itu, maka dalam komunikasi ilmiah kita mempergunakan kata seperti “epistemologi” atau “optimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan kata-kata itu.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu meng-komunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai tata bahasa yang baik. Hal ini berlaku bagi kegiatan ilmiah dan non ilmiah. “Tata bahasa,” menurut Charlaton Laird, “merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu.
Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah.
Beberapa Kekurangan Bahasa
Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempuyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Kekurangan yang kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Kelemahan lain terletak pada sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Kelemahan yang lain dari bahasa adalah konotasi yang bersifat emosional.
Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ahli filsafat modern. Pengkajian filsafat, termasuk pengkajian hakikat ilmu, pada dasarnya merupakan analisis logico-linguistik.
17. Matematika
Matematika Sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingik kita sampaikan. Lambing-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakana bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal.
Sifat Kuantitatif Dari Matematika
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif.
Matematika: Sarana Berfikir Deduktif
Secara deduktif menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenagkan.
Perkemabangan Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi kedalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Griffits dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika menjadi empat tahap. Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia.
Adanya dua sistem ilmu ukur yang keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti bahwa sistem Ilmu Ukur Euclid atau ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar atau salah sebab hal ini harus dilihat dalam ruang lingkupnya masing-masing. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut.
Beberapa Aliran Dalam Filsafat Matematika
Immanual Kant (1724-1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori di mana eksisitensi matematika tergantung dari pancaindera serta pendapat dari aliran yang disebut logistk yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berfikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris. Akhir-akhir ini filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum baru dalam aliran yang disebut intusionis dengan eksponen utamanya adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan Brouwer (1881-1966). Di samping dua aliran ini terdapat pula aliran ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) dan terkenal dengan sebutan kaum formalis.
Matematika dan Peradaban
Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Penduduk kota yang pertama adalah “makhluk yang berbicara” (talking animal), kata Lancelot Hogben, dan penduduk kota kurun teknologi ini adalah “makhluk yang berhitung” (calculating animal) yang hidup dalam jaringan angka-angka. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh.
Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupakan penghalang untuk meng-komunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat-kalimat yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari tiap karakteristik yang sama; sederhana dan jelas; transparan bagai Kristal kaca.
18. Statistika
Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Pada tahun 1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson lebih lanjut dan menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan Francis Galton (1822-1911) dan Karl Pearson (1857-1936).
Statistika dan Cara Berfikir Induktif
Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penarikan induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Yang dapat kita katakana adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statiska merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak.
Karakteristik Berfikir Induktif
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik. Dasar dari teori statistika adalah teori peluang. Teori peluang merupakan cabang dari matematika sedangkan statistika sendiri merupakan disiplin sendiri. Menurut bidang kajiannya statistika dapat kita bedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan.
Statistika merupakan sarana berfikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan secara kebetulan.
BAB VI
AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU
Mengalami zaman edan
Kita sulit menemukan sikap
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan Tuhan
Betapa bahagia pun mereka yang lupa
Lebih bahagia yang ingat serta waspada
Ranggawarsito (1802-1873)
19. Ilmu dan Moral
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. “Segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.”
20. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya. Fungsinya selaku ilmuan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat di manfaatkan oleh masyarakat.
Seorang ilmuan dengan kemampuan pengetahuannya harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat diterima oleh orang awam. Untuk itu maka dia bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Karakteristik lain dari ilmu terletak dalam cara berfikir untuk mendapatkan kebenaran. Manusia dalam usaha menemukan kebenaran itu ternyata menempuh cara yang bermacam-macam sehingga menimbulkan pemeo: kepala sama berbulu namun memiliki pendapat masing-masing.
Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik.
21. Nuklir dan Pilihan Moral
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaa yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan. Seorang ilmuan tak boleh memutarbalikkan penemuannya bila hipotesis yang dijunjung tinggi yang disusun di atas kerangka pemikiran yang terpengaruh referensi moral ternyata hencur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian. Seorang ilmuan yang di atas landasan moral memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi atau membuktikan bahwa hasil penemuan itu efektif maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri secara sadar atau tidak.
22. Revolusi Genetika
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu sendiri. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal (ontologis) ilmu. Mengahadapi revolusi genetika yang baru di ambang pintu, kita belum terlambat menerapkan pilihan ontologism, “Jangan petik buat terlarang itu”. Berharap menciptakan Superman namun yang bangun adalah Frankenstein.
BAB VII
ILMU DAN KEBUDAYAAN
Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat berkembang dan berperadaban.
Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam Muqaddimah.
23. Manusia dan Kebudayaan
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E. B. Taylor pada tahun 1871 dalam bukunya Primitive Culture di mana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kuntjaraningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemsyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan dan Pendidikan
Suatu masyarakat modern yang berasaskan efisiensi bertumpu kepada nilai teori dan nilai ekonomi. Nilai teori ini terutama sekali berkaitan erat dengan aspek penalaran (reasoning), ilmu dan teknologi. Sedangkan nilai ekonomi berpusat kepada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara lebih efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi yang bertanggung jawab umpamanya pola konsumsi masyarakat. Indikator kedua menimbulkan pergeseran dalam nilai sosial dan nilai kekuasaan (politik). Kedua nilai ini harus lebih berorientasi kepada kepercayaan pada diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri.
24. Ilmu dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan di sini merupakan seperangkat nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu Sebagai Suatu Cara Berfikir
Karakteristik ilmu dapat disimpulkan menjadi empat, pertama bahwa ilmu mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Karakteristik yang kedua yakni alur jalan pikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Sedangkan karakteristik ketiga yakni pengujian secara empiris sebagai criteria kebenaran obyektif. Dan karakteristik yang keempat yakni mekanisme yang terbuka terhadap koreksi.
Nilai-Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengemabangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai baru yang fungsional.
Ke Arah Peningkatan Peranan Keilmuan
Langkah-langkah yang sistematik untuk meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan yang pada pokoknya mengandung beberapa pemikiran sebagaimana berikut ini:
1. Ilmu merupakan bagian dari kebudayaan.
2. Ilmu merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran.
3. Asumsi dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran.
4. Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral.
5. Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan.
6. Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan sturktur kekuasaan.
25. Dua Pola Kebudayaan
Tak dapat disangkal bahwa terdapat perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun perbedaan ini hanyalah bersifat teknis yang tidak menjurus kepada perbedaan yang fundamental. Dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis dari kedua ilmu tersebut adalah sama. Metode yang dipergunakan dalam mendapatkan pengetahuannya adalah metode ilmiah yang sama, tak terdapat alasan yang bersifat metodologis yang membedakan antara ilmu-ilmu alam.
Jadi jika sekiranya memang diperlukan pola pendidikan yang berbeda maka alternatif yang dapat ditempuh bukan lagi pembagian jurusan berdasarkan bidang keilmuan melainkan berdasarkan tujuan pendidikan matematika.
BAB VIII
ILMU DAN BAHASA
….. Seorang yang hilang diculik makhluk gaib telah kembali dengan selamat naik bajai berkat bantuan seorang yang berilmu.
(Cuplikan berita harian Sinar Pagi pada tanggal 12 Novenmber 1981).
26. Tentang Terminologi: Ilmi, Ilmu Pengetahuan dan Sains?
Dua Jenis Ketahuan
Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga kriteria yakni:
a) Apakah obyek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan tersebut?
b) Cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan tersebut?
c) Untuk apa ketahuan itu dipergunakan atau nilai kegunaan apa yang dipunyai olehnya?
Beberapa Alternatif
Alternatif pertama adalah menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge. Hal ini yang sekarang umum dipakai. Alternatif kedua didasarkan kepada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah dua kata benda yakni ilmu dan pengetahuan.
Sains:
Adopsi yang Kurang Dapat Dipertanggungjawabkan
Pendapat Wittgenstein mengenai struktur dan logika dalam penggunaan ilmu pengetahuan untuk knowledge, sains untuk science, ilmiah atau keilmuan untuk scientific:
Kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan yang terkandung dalam karya filsafat adalah tidak salah namun nonsensical. Konsekuensinya adalah bahwa kita tidak dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini, melainkan hanya mampu menunjukan bahwa semua itu adalah nonsensical. Kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan dalam filsafat ditimbulkan oleh kegagalan kita untuk memahami logika dari bahasa kita sendiri.
27. Quo Vadis?
Dalam Konperensi Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III LIPI yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 15-19 September 1981 terdapat suatu pendapat yakni:
1) Ilmu merupakan genus di mana terdapat bermacam species;
2) Dengan demikian maka terminology ilmu pengetahuan adalah sinonim dengan scientific knowledge;
3) Ilmu adalah sinonim dengan knowledge dan pengetahuan dengan science;
4) Berdasarkan hukum DM maka ilmu pengetahuan adalah ilmu (knowledge) yang bersifat pengetahuan (scientific).
28. Politik Bahasa Nasional
(1) Pada tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia telah memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Alasan yang utama pada waktu itu lebih ditekankan pada fungsi kohesif Bahasa Indonesia sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia. Tentu saja terdapat juga evaluasi yang berkonotasi dengan kemampuan Bahasa Indonesia selaku fungsi komunikatif yakni fakta bahwa Bahasa Indonesia merupakan lingua franca dari sebagian besar penduduk, namun kalau dikaji lebih mendalam, maka kriteria bahasa sebagai fungsi kohesif itulah yang merupakan kriteria yang menentukan.
(2) Selaku alat komunikasi pada pokoknya bahasa mencakup tiga unsur yakni pertama, bahasa selaku alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi perasaan (emotif). Kedua, berkonotasi sika (afektif), dan ketiga berkonotasi pikiran (penalaran).
BAB IX
PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH
Dalam seni yang penting bukan apanya melainkan bagaimananya….
Alexander Solzhenitsyn dalam Suatu Hari dalam Kehidupan Ivan Denisovitch.
29. Struktur Penelitian dan Penulisan Ilmiah
Pengajuan Masalah
Langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah. Satu hal yang harus disadari adalah pada hakikatnya suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari faktor-faktor lain. Selalu terdapat konstilasi yang merupakan latar belakang dari suatu masalah tertentu.
PENGAJUAN MASALAH
1. Latar belakang masalah
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
6. Kegunaan penelitian
Penyusunan Kerangka Teoritis
Setelah masalah berhasil dirumuskan, maka tahap selanjutnya adalah mengajukan hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan.
PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
- Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis.
- Pembahasan mengenai penelitian-penelitian lain yang relevan;
- Pnyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis;
- Perumusan hipotesis.
Metodologi Penelitian
Setelah berhasil merumuskan hipotesis yang diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya adalah menguji hipotesis tersebut secara empiris. Metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian.
Hasil Penelitian
Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka langkah berikutnya adalah melaporkan apa yang telah ditemukan berdasarkan hasil penelitian
Ringkasan dan Kesimpulan
Kesimpulan pengujian hipotesis kemudian dikembangkan menjadi kesimpulan penelitian yang ditulis dalam bab tersendiri. Kesimpulan penelitian ini merupakan sintesis dari keseluruhan aspek penelitian yang terdiri dari masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian.
Abstrak
Sebuah laporan penelitian kemudian disarikan dalam sebauh ringkasan yang disebut abstrak. Abstrak merupakan ringkasan seluruh kegiatan penelitian yang paling banyak terdiri dari tiga halaman. Keseluruhan abstrak merupakan essai utuh yang tidak dibatasi oleh sub judul.
Daftar Pustaka
Sebuah laporan penelitian dilengkapi dengan daftar pustaka yang merupakan sumber referensi bagi seluruh kegiatan penelitian.
Riwayat Hidup
Riwayat hidup dicantumkan pada halaman terakhir sebuah laporan tanpa diberi nomor halaman.
Usulan Penelitian
Usulan penelitian biasanya dilengkapi dengan jadwal kegiatan, personalia peneliti serta aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan penelitian umpamanya pembiayaan.
Lain-lain
Sebelum memasuki tubuh utama laporan sebuah tulisan ilmiah biasanya didahului oleh beberapa informasi yang bersifat pengantar.
b
Catatan Akhir
30. Teknik Penulisan Ilmiah
Teknik penulisan ilmiah mempunyai dua aspek yakni gaya penulisan dalam membuat pernyataan ilmiah serta teknik notasi dalam sumber pengetahuan ilmiah yang dipergunakan dalam penulisan. Komuikasi ilmiah harus bersifat jelas dan tepat yang memungkinkan proses penyampaian pesan yang bersifat reproduktif dan impersonal. Penulisan ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Pernyataan ilmiah yang kita pergunakan dalam tuliasan harus mencakup beberapa hal. Pertama, harus dapat kita definisikan orang yang membuat pernyataan tersebut. Kedua, harus dapat kita identifikasikan media komunikasi ilmiah di mana pernyataan itu disampaikan. Ketiga, harus kita definisikan lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat berdomisili dan waktu penerbitan itu dilakukan.
31. Teknik Notasi Ilmiah
Tanda catatan kaki diletakkan di ujung kalimat yang dikutip dengan mempergunakan angka Arab yang diketik naik setengah spasi. Catatan kaki pada tiap bab diberi nomor urut mulai angka 1 sampai habis dan diganti dengan nomor 1 kembali pada bab yang baru. Tujuan utama dari catatan kaki adalah mengidentifikasikan lokasi yang spesifik dari karya yang dikutip.
PENUTUP
Humor mengajarkan toleransi, dan seorang humoris, dengan senyum di bibirnya, sambil menghela nafas kemungkinan besar akan mengangkat bahu daripada harus memaki-maki……
(W. Somerset Maugham dalam The Summing Up).
32. Hakikat dan Kegunaan Ilmu
Kiranya bahwa sajak atau nyanyian adalah fungsional bagi kehidupan, dan hal ini tidak usah diragukan lagi, namun terdapat fungsi yang berbeda antara kedua ungkapan seni dengan teori keilmuan. Jadi, buku-buku tebal ilmuan pada hakikatnya adalah sama saja dengan buku-buku primbon tukang ramal yakni menjelaskan, meramal dan mengontrol. Tentu saja yang berbeda adalah asas dan prosedurnya: menjelaskan-meramalkan-mengontrol.
DAFTAR PUSTAKA
S. Suriasumantri, Jujun. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Posting Komentar untuk "FILSAFAT ILMU"